Konservasi, Pariwisata dan Hak Hidup Rakyat di Sumber Klampok, Bali

Hak Hidup Rakyat di Sumber Klampok, Bali

Sumber Klampok, sebuah kampung di kecamatan Grogkak, Buleleng – Bali, merupakan sebuah kampung yang terbentuk sejak tahun 1922, sejak Belanda membawa 40 KK pekerja dari Madura dan Jawa untuk perkebunan kelapa di pantai Utara Pulau Bali. Dalam perjalanannya kepemilikan perusahaan beralih ke perusahaan China, hingga kemudian menjadi perusahaan yang dimiliki oleh tentara.

Kampung Sumber Klampok, Bali

Sumber Klampok, awalnya bernama Kedebung Bunyuk, yang diambil dari nama tanaman sejenis pandan yang digunakan untuk rumah, kemudian berganti nama setelah fase krisis air di kawasan, hingga kemudian ditemukan sumber air di bawah pohon Klampok, sejenis jambu-jambuan.

Sumber Klampok saat ini bagaikan menyimpan bara dalam sekam. Rakyat di kawasan hampir seluas 600 hektar masih berada dalam kebimbangan. Pengakuan oleh pemerintah terhadap keberadaan komunitas yang saat ini terdiri dari etnis Madura, Bali Nusa dan berbagai etnis lainnya ini, masih belum diberikan oleh Pemerintah. Keberadaan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) menjadi sebuah pemicu tidak pernah diakuinya keberadaan rakyat di kawasan tersebut.

Kedatangan etnis Bali Nusa di kawasan Sumber Klampok diawali saat perkebunan Belanda memberikan hak kepada pekerja perkebunan Belanda untuk mengelola lahan di sela-sela perkebunan kelapa. Ditambah dengan saat terjadinya letusan Gunung Agung, yang mengakibatkan semakin berkembang jumlah komunitas di kawasan Sumber Klampok.

Namun di awal dikeluarkannya keputusan pembentukan TNBB melalui SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 pada tanggal 10 Maret 1978 sebagai kawasan Suaka Marga Satwa Bali Barat, menjadikan masyarakat dipaksa untuk meninggalkan kawasan.

Kawasan Konservasi

Perjalanan panjang ketetapan kawasan tersebut sebagai kawasan yang dilindungi, diawali dengan ditemukannya Jalak Bali saat seorang biologiawan dari Jerman, Dr. Baron Stressman, yang terpaksa mendarat karena kapal Ekspedisi Maluku II, menemukan sekumpulan Jalak Bali.

Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Dr. Baron Viktor von Plesen yang melakukan observasi lebih lanjut. Dewan Raja-Raja di Bali kemudian menetapkan menetapkan kawasan hutan Banyuwedang dengan luas 19.365,6 Ha sebagai Taman Pelindung Alam / Natuur Park melalui SK Dewan Raja-Raja di Bali No.E/I/4/5/47 tanggal 13 Agustus 1947.

Sebuah niat yang ingin dicapai oleh pemerintah berkaitan dengan menjaga keberadaan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di alam melalui penetapan sebagai kawasan taman nasional, ternyata justru bertolak belakang dengan kenyataan saat ini. Beberapa rakyat dari Sumber Klampok mengatakan bahwa setelah keberadaan taman nasional, justru populasi Jalak Bali berkurang secara drastis.

Bahkan beberapa warga bersaksi bahwa petugas taman nasional merupakan bagian dari perdagangan ilegal Jalak Bali. Hingga saat ini Jalak Bali hanya dapat disaksika pada pusat penangkaran yang dikelola oleh Balai Taman Nasional dan pada sebuah resort wisata yang dikelola oleh PT Trimbawan Swastama Sejati, yang memperoleh Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) untuk mengelola kawasan seluas 284 hektar selama 30 tahun sejak tahun 1998.

Rakyat di Sumber Klampok pernah dipaksa untuk bertransmigrasi, baik secara lokal di Pulau Bali, maupun untuk bertransmigrasi ke Sulawesi. Beberapa warga bahkan telah bertransmigrasi secara terpaksa ke Sumatera dan Sulawesi, dimana setelah mereka bertransmigrasi, lahan-lahan yang mereka tinggalkan dikuasai oleh seorang pejabat desa, yang kemudian mempekerjakan orang lain di lahan tersebut.

Ketika warga tersebut kembali ke Sumber Klampok karena gagal untuk bertahan hidup di tempat transmigrasi, mereka terpaksa menjadi buruh tani dengan meminjam lahan warga yang masih bertahan di Sumber Klampok.

Kegelisahan warga Sumber Klampok semakin menjadi, pada saat akhir tahun 1991, terjadi pertemuan antara DPRD, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi Bali, yang kemudian memutuskan bahwa warga Sumber Klampok harus segera meninggalkan desanya. Warga yang menolak kemudian mencoba bertahan.

Saat sudah didatangkan alat berat untuk melakukan penggusuran, warga desa kemudian melakukan perlawanan, yang diikuti dengan perlawanan dari kelompok perempuan, yang menjadikan warga tetap dapat bertahan di tempat berkehidupannya. Stigmatisasi terhadap organisasi yang dianggap terlarang pun diberlakukan bagi kelompok warga yang melakukan perlawanan.

Warga Sumber Klampok kemudian juga melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kawasannya, hngga mereka melakukan desakan pada pemerintah pusat, yang dianggap paling berkewenangan terhadap keberadaan mereka. Perjuangan rakyat membuahkan hasil dengan tidak terjadinya pengusiran terhadap warga di Sumber Klampok.

Namun permasalahan bagi warga Sumber Klampok tidak terhenti pada permasalahan tidak diakuinya keberadaan mereka oleh Pemerintah, walaupun telah ditetapkannya Sumber Klampok sebagai desa definitif. Kelompok nelayan Sumber Klampok, saat ini harus tersingkirkan secara perlahan, setelah diijinkannya PT Disti Kumala Bahari untuk melakukan pengelolaan kerang mutiara, yang menjadikan kawasan tangkapan nelayan semakin menyempit. Satu persatu nelayan harus beralih profesi, karena tak mampu menangkap ikan di tempat yang lebih jauh.

Industri Pariwisata

Pertarungan lain yang lebih besar adalah keberadaan Pulau Menjangan yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Dengan diberikannya ijin pengusahaan wisata alam kepada PT Trimbawan Swastama Sejati, PT Disthi Kumala Bahari, dan PT Shorea Barito Wisata oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1997, menghadirkan ketidakadilan bagi warga Sumber Klampok.

Warga melalui Desa Adat kemudian melakukan perjuangan untuk memperoleh hak pengusahaan wisata, yang setelah melalui perjuangan panjang di tahun 1999, akhirnya diberikan kewenangan untuk mengelola Pelabuhan Lalolongan dan usaha transportasi menuju Pulau Menjangan. Pulau Menjangan pun memiliki sejarah yang memiliki nilai tinggi, terutama berkaitan dengan dibangunnya pura besar di Pulau Menjangan.

Keberadaan wisata yang dikelola oleh pengusaha dari Jakarta tersebut, kemudian selalu dianalogikan sebagai ekowisata. Padahal secara tegas World Tourism Organization-United Nation Environment Programme (WTO-UNEP) dalam kertas konsepnya saat menyambut Tahun Ekowisata Internasional 2002, menjelaskan bahwa batasan karakter ekowisata, di antaranya, yaitu segala kegiatan wisata yang berbasis alam, ada unsur pendidikan, komunitas setempat sebagai pengelola dan pemilik, dan mendukung kegiatan perlindungan alam dengan mengurangi efek negatif terhadap alam dan lingkungan sosial dari kegiatan pengembangan. Artinya pengusahaan wisata oleh perusahaan di kawasan TNBB tersebut bukanlah termasuk ke dalam ekowisata.

Lembaga Konservasi Internasional sendiri pernah hadir di kawasan TNBB, namun entah dimana saat ini keberadaannya. Yang tersisa hanyalah papan informasi yang tak lagi terawat, dan speedboat yang pengelolaannya diserahkan pada Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pariwisata (FKMPP) Sumber Klampok. Kehadiran lembaga konservasi inipun sangatlah tidak jelas dalam memberikan sebuah ketenangan bagi warga Sumber Klampok.

Hak Hidup Rakyat

Pariwisata yang menjadi icon bagi Bali, telah menjadi sebuah hal yang berbeda bila dilihat dari Sumber Klampok. Apalagi tahun 2008 Pemerintah Indonesia menyatakan sebagai tahun kunjungan wisata. Pariwisata di Bali tak berarti sebuah hal yang memberikan sebuah manfaat sangat dalam bagi Sumber Klampok. Kegelisahan warga Klampok masih akan terus berlangsung. Apalagi Bupati yang baru saja terpilih di Kabupaten Buleleng, belum jua mewujudkan janjinya untuk memberikan kepastian kepemilikan lahan bagi rakyat di Sumber Klampok.

Keberadaan hak hidup bagi rakyat Sumber Klampok bisa menjadikan sebuah hal yang akan tetap menghadirkan api dalam sekam yang suatu saat akan kembali membakar. Konflik secara vertikal dan horisontal akan mungkin terjadi bilamana pemerintah tidak memenuhkan hak atas tanah bagi warga Sumber Klampok. Tak ada pilihan lain bagi pemerintah selain memberikan ketenangan bagi rakyat Sumber Klampok melalui pengakuan terhadap kepemilikan lahan.

Konservasi yang menggurita menjadi bisnis pariwisata menjadikan seolah-oleh negeri ini sangat peduli dengan kepentingan dunia, namun sejatinya telah menghilangkan keberadaan komunitas lokal. Konservasi yang bergulat dengan bisnisnya pun telah menjadi sebuah ancaman baru bagi kehidupan anak negeri. Masa datang negeri ini akan terhancurkan bila pemerintah tidak merubah mahzab konservasi yang digunakan saat ini. Layaknya masa datang negeri ini harus dikelola secara berdaulat oleh rakyat.

 

Konservasi, Pariwisata dan Hak Hidup Rakyat di Sumber Klampok

About the Author: Blog Kalpataru

Ikut peduli terhadap kawasan lingkungan hidup

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *