Laut Dalam Budaya Suku Bajo

Laut Dalam Budaya Suku Bajo

Praktik pengeboman, penyuntikan sianida dan penggunaan alat tangkap merusak merupakan gejala umum yang masih marak dilakukan oleh masyarakat nelayan Indonesia. Anggapan bahwa laut adalah sumber mata pencaharian yang tak pernah ada habisnya menjadikan praktik eksploitasi secara berlebihan dan destruktif dianggap sebagai sesuatu yang wajar.Padahal aktivitas tersebut lambat laun akan semakin menghilangkan sumber mata pencaharian mereka. Pengeboman dan penggunaan racun akan merusak ekosistem terumbu karang sebagai tempat berkembang biaknya ikan dan biota laut lainnya. Semakin rusak terumbu karang di suatu kawasan laut maka akan semakin sedikit ikan yang bisa ditangkap.

Lalu bagaimana konsep tata ruang dan konservasi laut dalam kacamata budaya Suku Bajo ?. Sebagai suku pelaut, kehidupan orang-orang Bajo seperti tenggelam dalam ketangguhan suku-suku lainnya di Sulawesi. Sejarah memang lebih banyak mencatat keunggulan Suku Bugis, Suku Makassar, dan Suku Mandar dalam urusan mengarungi lautan lepas. Namun demikian ada suatu kearifan lokal dari masyarakat Bajo yang perlu kita cermati sebagai bentuk konsep konservasi sumber daya laut

Laut Dalam Budaya Suku Bajo

Bagi masyarakat Bajo, laut dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan sumber kehidupan. Wajar jika selanjutnya mereka menggantungkan hampir seratus persen sumber mata pencahariannya dari hasil laut. Ketergantungan mereka terhadap laut pun tercermin dalam pembagian hierarki kelompok sosial masyarakatnya.

Dalam kehidupannya, mereka mengenal empat kelompok masyarakat yang dibagi menurut kebiasaannya mencari ikan di laut. Kelompok-kelompok tersebut antara lain Lilibu (yang melaut satu hingga dua hari), Papongka (melaut satu hingga dua minggu), Sakai (melaut satu hingga dua bulan), dan Lame (yang melaut hingga berbulan-bulan). Secara garis besar, Suku Bajo lebih banyak menghabiskan hidupnya dengan mendiami perahu-perahu yang mereka disain sebagai tempat bermukim. Mereka menyebutnya Palemana atau rumah perahu. Tak salah jika selanjutnya suku ini digolongkan sebagai Orang-orang Perahu.

Sebagai suku pelaut yang sering berpindah-pindah tempat mereka juga dikenal sebagai kaum imigran. Karena itu keberadaan masyarakat Bajo tersebar tidak hanya di Sulawesi, tempat asalnya. Mereka bisa ditemui di Flores, Sumbawa, sebagian Papua, hingga Kepulauan Riau. Di tempat barunya mereka akan mendiami tepian-tepian pantai dengan membangun rumah-rumah panggung dari bambu yang beratap rumbia.

Kearifan lokal yang dimiliki Masyarakat Bajo pada masa lalu adalah dalam hal pengaturan waktu untuk melakukan aktivitas di laut. Pengaturan tersebut mereka bagi secara berbeda-beda menurut jenis-jenis biota lautnya. Misal, waktu pengambilan teripang dan kerang-kerangan biasanya mereka lakukan hanya pada bulan tujuh dan delapan setiap tahunnya, menangkap ikan mereka lakukan hanya pada bulan sebelas dan dua belas, dan empat bulan yang tersisa mereka gunakan untuk menangkap jenis biota laut lainnya. Praktik seperti ini tentu saja memberi peluang lebih banyak bagi sumber daya hayati laut untuk berkembang biak dan pada gilirannya akan menjamin hasil tangkapan nelayannya meskipun hanya dengan menggunakan alat sederhana seperti pancing dan tombak.

Namun kearifan tersebut kini rupanya sudah mulai terkikis seiring perubahan zaman. Pengaruh budaya masyarakat yang datang dari luar komunitas Suku Bajo dengan berbagai jenis alat tangkap dan teknologi yang lebih modern telah memicu persaingan sengit. Suku Bajo tak lagi bisa bertahan hanya dengan mengandalkan alat-alat tangkap mereka yang sederhana. Mereka yang masih bertahan dengan mempraktikkan kearifan adat masa lalunya tentu akan semakin terpinggirkan. Untuk bertahan, pola penangkapan destruktif pun akhirnya mulai marak dilakukan.

Solusi yang bisa diberikan adalah dengan memperhatikan keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Dalam UU tersebut sudah dijelaskan keberpihakan pemerintah pada masyarakat adat dengan memberikan mereka Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Hanya saja persyaratan untuk mengajukan HP3 yang diberlakukan masih terasa terlalu memberatkan. Pemerintah mengharuskan masyarakat adat untuk mengajukan dokumen/data yang dapat dijadikan sebagai bukti kebenaran asal-usul berdasarkan ginelogis, norma adat yang masih berlaku, dan kawasan pesisir yang telah mereka kelola secara turun temurun, juga pranata hukum dan kelembagaan adat yang masih diakui.

Sebelum memberlakukan semua persyaratan tersebut, ada baiknya jika pemerintah juga memberikan pendampingan selama mereka mendokumentasikan berbagai syarat yang diminta. Jika tidak aturan tersebut hanya akan membuat masyarakat adat, seperti Suku Bajo, semakin termarginalkan.

Selain itu, kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat juga sudah sepatutnya dilibatkan dalam upaya penataan ruang dan konservasi sumber daya laut. Sehingga upaya konservasi untuk pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan akan bisa terlaksana dengan baik.

 

Laut Dalam Budaya Suku Bajo

About the Author: Blog Kalpataru

Ikut peduli terhadap kawasan lingkungan hidup

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *