Burung Maleo Sulawesi

Keunikan Burung Maleo

Burung Maleo adalah burung endemik (hanya hidup secara alami di suatu kawasan) di Pulau Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Donggala (Desa Pakuli dan sekitarnya) dan Kabupatren Luwuk Banggai, Sulawesi Sulawesi Tengah, serta di Sulawesi Utara.

Nama ilmiah burung maleo adalah Macrocephalon yang berarti kepala besar. Burung Maleo memiliki tonjolan besar di atas kepala. Dan karena tonjolannya itu Maleo bisa mendeteksi panas bumi untuk menetaskan telurnya.

Keunikan Burung Maleo

Hewan khas Sulawesi ini memiliki keunikan yaitu cara bertelur dan ukuran telurnya yang berukuran 5 kali lebih besar dari telur ayam. Selain itu, burung maleo juga tergolong unik karena memiliki sifat setia kepada pasangannya.

Berat telur burung Maleo berkisar antara 178-267 gr dengan panjang 92,1- 112,6 mm dan diameter 57,6-65,5 mm. Komposisi telur maleo didominasi olah warna kuning yang menunjukkan tingginya kandungan gizi.

Telur maleo didominasi warna kuning karena kandungan kuning telur tersebut merupakan persediaan makanan bagi anak maleo selama masih dalam telur, apalagi ukuran telur burung maleo yang lebih besar dari telur ayam serta lamanya penetasan telur burung maleo menyebabkan kandungan kuning telur burung maleo lebih banyak. Oleh karena itu, saat baru menetas anak burung maleo sudah bisa terbang.

Cara bertelur burung maleo yaitu dengan membuat lubang atau liang dalam pasir sekitar pantai dan daerah yang memiliki panas bumi yang cukup, karena untuk melanjutkan keturunannya burung maleo tidak mengerami telurnya sendiri melainkan di kubur dalam tanah atau pasir yang cukup hangat.

Biasanya di titik yang memiliki suhu cukup hangat Maleo akan menggali lubang sedalam 30 sampai 50 cm, lalu meletakkan telurnya dan menutupnya kembali dengan tanah sekitar 10 sampai 15 cm di atas telur.

Burung Maleo Satwa yang Dilindungi

Populasi burung maleo dari tahun ke tahun semakin menurun yang disebabkan oleh kerusakan habitat baik itu perburuan liar maupun alih fungsi lahan. Jumlah burung maleo sekarang ini diperkirakan kurang dari 10 ribu ekor. Dan akhirnya satwa ini dinyatakan sebagai satwa yang dilindungi karena para pemburu liar sering sekali mengambil telur-telur Maleo seenaknya.

Burung maleo memiliki resiko kepunahan yang tinggi membuktikan bahwa status perlindungan belum mampu menekan laju penurunan populasi di alam sehingga tindakan penyelamatan perlu dilakukan, yaitu melalui tindakan konservasi (BKSDA Sulut Seksi Wilayah II Gorontalo, 2014).

Burung maleo merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan:

  • Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 421/KPTS/UM/8/1970
  • SK Mentan Nomor 90/KPTS/UM/2/1997
  • UU Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
  • SK Menteri Kehutanan Nomor 301/KPTS/II/1991 dan Nomor 882/KPTS/II/1992
  • peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.

Sejak tahun 1990 berdasarkan SK. Nomor Kep. 188.44/ 1067/RO/BKLH tanggal 24 Februari 1990 Maleo ditetapkan sebagai Satwa Maskot Propinsi Sulawesi Tengah (Hafsah dkk, 2008), karena burung maleo tidak bisa ditemukan di daerah lain dan hanya bisa ditemukan di Pulau Sulawesi sehingga burung ini disebut dengan satwa endemik Sulawesi.

Di Gorontalo burung maleo masih dapat ditemukan di Hutan Konservasi Cagar Alam Panua, di Desa Maleo Keca matan Paguat, Kabupaten Pohuwato. Cagar alam Panua merupakan salah satu kawasan yang berada di bawah pengelolaan BKSDA Sulawesi Utara. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 471/Kpts-11/1992 Luas Cagar Alam Panua sekitar 45. 575 hektar. Secara geografis kawasan ini terletak antara 0°27′ 00″ LU – 0° 42′ 00″ LU dan 121° 49′ 00″ – 121° 53′ 00″ BT (BKSDA Sulut Seksi Wilayah II Gorontalo, 2014).

Cagar Alam Panua merupakan Hutan Konservasi karena terdapat satwa endemik atau langka misalnya hewan-hewan endemik seperti burung maleo yang merupakan hewan yang memiliki habitat terbesar di Cagar Alam Panua.

Kawasan Cagar Alam Panua merupakan habitat terbesar dari burung maleo di Gorontalo. Terdapat tiga habitat dari burung maleo yaitu habitat melintas burung maleo, habitat sebaran yang berada di sekitar hutan tempat burung maleo mencari makan, dan habitat peneluran yang berada di sekitar pesisir pantai Desa Maleo.

Kawasan Cagar alam Panua saat ini sudah mengalami alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan dan pertambangan oleh masyarakat setempat karena dekat dengan pemukiman warga. Alih fungsi lahan ini menyebabkan degradasi vegetasi, tekstur tanah, dan faktor lingkungan lain sehingga berpengaruh pada habitat di sekitar lokasi peneluran burung maleo yang digunakan oleh induk untuk memendam dan pengeraman telur.

 

Burung Maleo Sulawesi

About the Author: Blog Kalpataru

Ikut peduli terhadap kawasan lingkungan hidup

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *